OPINI; Physical Distancing dan Budaya Komunikasi


Penulis: La Ode Arwah Rahman, Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Parepare.





OPINI --- Hampir sebulan diimbaukan (baca: diberlakukan), kebijakan social distancing atau physical distancing belum juga memberikan dampak signifikan pada upaya menekan angka infeksi wabah corona di Indonesia. Hari – hari ini kita terus dihadapkan pada fakta erupsi kasus infeksi Covid-19, yang diperkirakan beberapa minggu kedepan masih terus berlanjut, dengan tingkat jumlah ledakan kasus yang semakin mengkhawatirkan.





Harus diakui, social distancing (pembatasan interaksi sosial) atau physical distancing (pembatasan jarak fisik) adalah hal baru bagi masyarakat Indonesia yang berwatak kolektivis komunal. Bisa jadi ini salah satu penyebab ‘gagalnya’ gerakan yang dimotori langsung Presiden Jokowi itu, sebagai alternatif kebijakan lockdown dan darurat sipil yang batal diberlakukan oleh pemerintah dengan berbagai alasan.





Tulisan ini coba dibangun dengan melacak budaya komunikasi manusia Indonesia yang dikenal ramah, senang kumpul dan memiliki keterikatan sosial yang tinggi. Masyarakat kita tak memiliki jejak budaya individualistik yang mengedepankan sekat – sekat privat dan kebebasan individu sebagaimana di negara-negara barat.





Kita terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi dalam jarak sosial yang rapat dan terbuka, termasuk dalam urusan-urusan pribadi sekalipun. Bahkan pada sebagian masyarakat, ada budaya berbagi yang melibatkan semua anggota kelompok, yang dapat ditemui di suku-suku pedalaman di Indonesia. Ini berbeda misalnya dengan masyarakat Eropa atau Amerika yang memiliki kultur individualistik yang kental.





Selain itu, masyarakat Indonesia tidak memiliki perangkat literasi yang cukup dalam menghadapi wabah besar bersifat pendemik yang melahirkan turbulensi sosial seperti saat ini. Minimal dituturkan dari generasi ke generasi, yang memungkinkan mereka memiliki skill dan pengetahuan serta kecakapan bagaimana menghadapi ancaman virus yang terus merebak.





Kedua, ‘kegagalan’ kampanye social distancing atau physical distancing kemungkinan disebabkan pengkomunikasian program ini ke masyarakat yang tidak terencana dengan baik. Penanganan komunikasi krisis oleh pemerintah pusat dalam menghadapi wabah Covid – 19 terkesan kacau dan dadakan, yang melahirkan krisis komunikasi, menurunkan tingkat kepercayaan serta merusak reputasi pemerintah di mata masyarakat dalam penanganan virus Corona.





Saat kampanye social distancing dilaksanakan di minggu-minggu pertama, ketaatan masyarakat untuk mengikuti imbauan tersebut presentasinya sangat kecil. Sekiranya saja, semua masyarakat mengikuti ajakan pemerintah untuk berada di rumah masing-masing selama 14 hari, kemungkinan infeksi Corona di Indonesia dapat diminimalisir, dan angkanya tidak sebesar saat ini.





Kegagalan ini, dari strategi komunikasi dapat dicermati pada desain pesan dan penggunaan komunikator yang tidak sepenuhnya diperankan dengan baik oleh otoritas resmi yang ditunjuk, yakni Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB). Komunikasi penanganan krisis tidak terpusat dan statement – statement yang dikeluarkan berbagai lembaga pemerintahan di tingkat pusat melahirkan blunder komunikasi.





Tak hanya itu, banyak pernyataan yang dikeluarkan presiden tidak... (next page 2)









(Page 2)





Tak hanya itu, banyak pernyataan yang dikeluarkan presiden tidak matang, yang mengakibatkan pro kontra pada tingkat eksekusi. Kondisi berbeda justru diperlihatkan oleh pemerintah daerah yang terkesan lebih siap, cekatan, dan program mereka lebih terarah dan tidak ambigu.





Penggunaan istilah-istilah asing seperti social distancing, physical distancing, stay at home, atau lockdown, tracing, spesimen, test kit, rapid test, swab test juga perlu dikritisi. Dari factor proximity (kedekatan) ruang dan sosial, istilah-istilah asing tersebut sangat mengganggu upaya internalisasi pesan – pesan dimaksud ke publik, utamanya pada masyarakat bawah yang merupakan kelompok paling rentang terjangkit Covid-19.





Akibatnya, atmosfir pemberitaan yang dibangun media massa tentang bahaya virus Corona yang gencar, tak menyurutkan semangat masyarakat untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas sosial seperti biasa.





Begitu pula halnya imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait kebijakan beribadah di rumah, juga banyak anggota masyarakat tak mengindahkannya. Yang terakhir ini berkaitan dengan pemahaman agama tentang takdir yang juga melahirkan pro kontra tak kalah sengitnya di kalangan umat Islam.





Budaya 'Ngerumpi'





Telah menjadi fitrah manusia sebagai mahluk komunikasi, senantiasa membutuhkan interaksi dengan orang lain. Anda tak hanya butuh kehadiran seseorang dalam kehidupan ini, tapi juga butuh tanggapan atau respon komunikasi darinya. Entah responnya negatif atau positif, tak jadi soal.





Tak ada manusia di dunia yang tak membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi. Manusia adalah makhluk yang haus akan komunikasi. Pada masyarakat timur yang dominan menggunakan budaya komunikasi verbalisme lisan, kemudahan yang ditawarkan kemajuan teknologi komunikasi, ternyata tak menghilangkan kebiasaan mereka untuk 'ngerumpi' sebagai manifestasi tuntutan akan kebutuhan komunikasi.





Pasca pemberlakuan social distancing dan selanjutnya physical distancing, di sejumlah sudut kota, lorong-lorong atau perumahan-perumahan dengan gampang kita dapat menemukan kumpulan atau kelompok orang bercerita serta bercengkerama seperti biasa. Juga banyak warung kopi, kafe-kafe atau gerai dikabarkan tetap buka, meski jumlahnya tidak seramai biasanya. Angkutan transportasi umum seperti kereta, bus kota tetap saja disesaki penumpang.





Tak ada shock culture. Kisah covid-19 yang disebutkan sebagai salah satu bencana kesehatan terburuk dalam sejarah peradaban manusia, seperti tak berpengaruh pada mereka. Bahkan, ketika dikabarkan bahwa epicentrum virus ini tak lagi hanya menyentuh wilayah medis dan aspek kesehatan, tetapi telah mengguncang aspek ekonomi, sosial budaya, agama hingga persoalan politik dan hubungan internasional, tetap saja kelompok ini easy going.





Tentu kita berharap ada kesadaran secara kolektif untuk bersama – sama mengatasi wabah ini. Persoalan ini tak akan berhenti jika masyarakat tidak memiliki awareness, pentingnya berkontribusi secara aktif menghentikan merebaknya Covid-19 di negeri ini.





Budaya komunikasi kolektivisme pada masyarakat kita harus didayagunakan untuk membangun kesadaran komunal dan tanggung jawab secara sosial terhadap keselamatan individu yang ada di sekeliling kita. Karena bisa jadi, tanpa sadar seseorang telah positif, namun tanpa gejala dan menjadi carrier atau pembawa kemudaratan bagi orang lain.





Pemerintah sudah waktunya peka terhadap aspek-aspek budaya komunikasi masyarakat kita. Kultur komunikasi ketimuran kita harus dapat diarahkan menjadi sesuatu yang produktif, mendukung kebijakan dan kampanye penanganan Covid-19. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawabi.


Posting Komentar

Copyright © Tanya IAIN Parepare | Distributed by Blogger Templates | Designed by OddThemes