Teologi Pandemi COVID-19: Tinjauan Pendidikan Profetik Ramadan


Penulis: Dr. Abdul Halik (Dosen Tarbiyah IAIN Parepare)





OPINI --- Kehidupan terkadang “menjebak”, karena seringkali rekayasa kehidupan di luar waras kemanusiaan. Confucius berpesan, “hidup ini sederhana, kita yang membuatnya sulit”, lalu kenapa dengan nalar “canggih” justru orang sering tercebur ke dalam magma keruwetan?





Covid-19 ini, bukankah hasil rekayasa sains, sehingga pada lelet-nya nalar? Bukankah orang-orang cerdas jadi depresi oleh pandemi Covid-19, sedangkan orang awam justru rileks dan enjoy saja? Bukankah ini semua adalah realitas, sehingga Charles Bukowski berkesimpulan: The problem with the world is that the intelligent people are full of doubts, while the stupid ones are full of confifidence (Masalah dengan dunia adalah  orang-orang cerdas penuh dengan keraguan, sedangkan orang bodoh penuh percaya diri).





Pandemi Covid-19 melanda eksistensi kemanusiaan di alam jagad justru yang abai adalah orang yang tidak paham tentang Corona. Boleh jadi tidak sepaham, tapi menarik sentilan Richard Feynman bahwa The most common cause of stress nowadays is dealing with idiots (penyebab stress paling umum saat ini adalah berurusan dengan orang idiot). Semoga sikap ‘idiot’ kita terhadap pandemi Covid-19 adalah refleksi semangat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.





Profil Ramadan dalam Tradisi





Ramadan telah berurat nadi dalam setiap qalb muslim yang merefleksikan kegembiraan dan kemeriahaan selama satu bulan. Begitu banyak pesan dan kesan yang dipancarkan ramadan, terutama di Indonesia.





Berbagai tradisi “religi” menghiasi pernak-pernik ramadan, mulai dari penyambutan ramadan, “ngabuburit”, kegiatan tarawih, ceramah, tadarrusan di masjid, aksi bangun sahur, aksi “tawaf” ba’da salat subuh, perayaan pertengahan Ramadhan, peringatan nuzulul qur’an, Musabaqah Tilawatil Qur’an, I’tiqaf 10 terakhir ramadhan, belanja pakaian baru, mudik, ziarah kubur, takbiran, mengecet rumah, masak ketupat dan burasa’, shalat ‘Id di lapangan, silaturahmi, maaf memaafkan dengan handai tolan, dan halal bi halal serta arus balik.





Ramadan begitu sarat aktivitas sosial dan spritual, walaupun hanya sebulan saja. Para anak rantau selalu mengagendakan mudik jika menjelang ramadan atau lebaran. Begitu berkesannya ramadan dan lebaran di Indonesia.





Ramadan memiliki keistimewaan dibanding bulan
lainnya dalam tahun Hijriyah. Bulan Ramadan sebagai bulan diwajibkannya
berpuasa bagi setiap mukmin (QS. 2: 183); bulan diturunkannya Alquran sebagai
petunjuk dan perisai hak dan bathil (QS. 2: 185); Ramadan sebagai bulan penuh
berkah bagi umat yang menjalankan sepenuh hati untuk meraih ridha-Nya (H.R.
Ahmad); Berlimpah pahala bagi mukmin yang melaksanakan qiyamullail (H.R.
Abu Daud, No. 1370); Totalitas berpuasa pada Bulan
Ramadan dapat men-delete dosa-dosa di masa lampau kecuali dosa besar
(H.R. Muslim, No. 233); Bulan Ramadan sebagai momentum terbukanya pintu-pintu
kebaikan (surga), ditutup pintu keburukan (neraka), dan tangan-tangan syaitan
(hawa nafsu) terbelenggu (HR. Bukhari, No. 1898 & 1899); dan berbagai dalil
lain yang menunjuk kemuliaan dan keistimewahan di Bulan
Suci Ramadan yang menginspirasi bagi transformasi kehidupan bagi seluruh umat
Islam.





Ramadan bagi Arafat (2017) merupakan revolusi mental dengan memiliki ekspektasi perilaku pengikutnya agar mampu menahan diri dari berbagai aspeknya, seperti menahan diri dari makan dan minum sesuai schedule, menahan diri dari sikap malas dan masa bodoh, menahan diri dari sikap manja dan‘cengeng’, menahan diri dari prilaku ghibah dan gunjing, menahan diri dari sikap riya’, dan arogan, menahan diri sikap egoism dan kikir, menahan diri dari sikap berlebihan dan pencitraan, menahan diri sikap kepura-puraan dan kepalsuan, dan sebagainya.





Ramadan membangun independensi batin dari tekanan parsial profanisme, berhala digital, dan konsisten terhadap jalur nalar yang rasional menuju transendetalistik, yang disebut “penaka” Tuhan (Umiarso & Makhful, 2018). Ramadan memberi hikmah komprehensif akan tatanan kehidupan sosial yang lebih humanis, natural, seimbang, dan harmoni. Ramadan bagai sumber mata air, mengaliri kanal-kanal spiritual dalam kalbu setiap muslim, dan telaga jiwa yang jernih, bersih, dan suci dari ‘daki’ keduniawian, meracik fitrah dalam bingkai kesucian bagai anak yang baru lahir (Fadlil, 2013).





Ramadan adalah “Universitas” kehidupan (meminjam istilah Ibrahim, 2014) yang memiliki fakultas yang komplit, dan kurikulum yang komprehensif. Kurikulum yang ditawarkan ramadan menjadi inspirasi dan rebutan penggiat ibadah puasa untuk berbelanja KRS dengan SKS yang maksimum.





Mata kuliah yang ditawarkan ramadan bersifat terintegrasi dalam mainstream ketauhidan, dengan pendekatan multidisipliner, seperti teologis, filosofis, sosiologis, ekonomi, psikologis, antropologis, medis, dan seterusnya, dengan metode demonstrasi dan simulasi (Inpirasi dari Rohmatika, 2019). Setiap mata kuliah memiliki kontrak kuliah, schedule masing-masing, dengan bobot SKS, dan sistem penilaian. Orang yang berhak mendapat nilai sempurna adalah yang memiliki ketekunan, ketabahan, kesabaran, keikhlasan, dan kreatif selama mengikuti perkuliahan (إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا).





Setiap muslim berharap mendapatkan predikat cumlaude Ramadan ketika diyudisium. Hal inilah menjadi espektasi utama setiap muslim mengejar predikat nilai terbaik yang disebut لعلكم تتقوان (QS. Al-Baqarah: 183). Wisuda ramadan dikukuhkan sebagai alumni terbaik pada moment ‘Idul Fitri, yang dimeriahkan oleh seluruh keluarga dan handai tolan melalui silaturahmi dan berziarah. Seringkali dilanjutkan acara syukuran melalui kegiatan halal bi halal beberapa hari setelah acara wisuda ramadan. Ramadan menjadi momentum transformatif kehidupan muslim menuju maghfirah dan ma’rifah Allah Swt.  





Teologi
Pandemi Covid-19





Pandemi Covid-19 kini masih bergejolak di seantero dunia, dengan angka kematian yang cukup mengenaskan. Di Indonesia bagian dari salah satu Negara yang menjadi korban, dengan angka rata-rata terinfeksi positif perharinya 300-400 orang (update tanggal 8 Mei 2020, sebanyak 13.112 orang). Berbagai wilayah di Indonesia dilakukan PSBB untuk menekan pandemi Covid-19 ini dengan risiko ekonomi yang sangat tinggi untuk menyelematkan kemanusiaan.





Kegelisahan sosial menjadi kohesi yang rentan, antara mempertahankan hidup dari segi kesehatan versus segi ekonomi. Pandemi Covid-19 yang mematikan ini, memaksa rakyat tinggal di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home), menjaga jarak interaksi sosial (physical distancing), dan menjaga daya tahan tubuh (imunitas). Dampak dari tragedi kehidupan ini, jutaan pekerja dirumahkan, keramaian ditiadakan, mulai dari rapat, pertemuan ilmiah, hajatan, sampai pada kegiatan keagamaan.





Berbagai tanggapan bermunculan sebagai respons terhadap tragedi pandemi Covid-19 ini, di antaranya adalah bentuk keserakahan oleh hegemoni dunia, dampak dari kemajuan teknologi digital yang tidak terkendali lagi, bagian dari murka Tuhan terhadap kesombongan manusia, ujian kemanusiaan yang telah kehilangan nurani, pembelajaran bagi ketahanan ekonomi dan kesehatan dalam kehidupan sosial secara institusional, dan berbagai tanggapan lainnya.





Bagi kaum rasionalis, melihat tragedi ini dalam hukum kausalitas yakni akibat terjadi karena adanya sebab, yakni pandemi Covid-19 terjadi disebabkan oleh kecerobohan orang tertentu dalam berinovasi di dunia biologi (jika asumsi ini diterima). Bagi kaum teologis, boleh jadi melihat sebagai teguran keras Tuhan terhadap tatanan kehidupan manusia yang kehilangan kendali diri, yakni keserakahan, kesombongan, eksploitasi, kejumudan, dan lainnya. Bagi kaum “teosofis”, boleh jadi melihat sebagai momentum relaksasi batin dalam menjejaki spiritualitas manusia yang tercederai oleh pencitraan, hipokrit, dan penghambaan pada berhala profane. Sebagai inspirasi momentum di atas, menarik dibaca sejarah Nabi Ibrahim mencari Tuhan dalam tinjauan pendidikan Islam oleh Sri Suyanta (2007).





Covid-19 ‘memaksa’ manusia menengadah ke langit... [next page 2]









[page 2]





Covid-19 ‘memaksa’ manusia menengadah ke langit, berharap ‘hidayah’ untuk mencari solusi atas tragedi semesta.  Di kala nalar telah terkatup oleh kegamangan pandemi, tiada tempat pelarian akhir yang paling mengagumkan kecuali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Kegelisahan dan kecemasan merambah ke seluruh relung emosional setiap orang, berharap mencari ketenangan, dengan kelegaan hati yang tercerahkan, walau tetap di rumah. Menghadirkan Tuhan di tengah pandemi menjadi jalan terbaik karena semua ikhtiar yang dilakukan diiringi oleh curahan hati kepada-Nya melalui do’a.





Do’a-do’a pencari keberkatan telah menyusuri ‘kanal-kanal’ langit di setiap saat, mengharap ada arus solusi alternatif dan berhentinya pandemi Covid-19.  Kecemasan itu bukan saja dari pandemi Covid-19, tetapi implikasinya pada aspek ekonomi sangat besar. Masyarakat tidak lagi bekerja, dengan bermodalkan sisa tabungan (jika ada), telah merongrong “kebulan” asap dapur, menjadi perisai kedua atas pandemi tersebut. Doa-doa selanjutnya yang ‘menyerbu’ pintu-pintu langit adalah ekspektasi ekonomi yang dapat terpenuhi di tengah kepungan pandemi Covid-19.





Manusia merasa lebih nyaman dengan keakraban diri kepada Allah Swt., karena semua ini adalah skenario-Nya untuk mengembalikan manusia ke kodrat yang esensialnya. Jika manusia dalam genggaman hidayah-Nya, maka yang kurang mengharap iba dan yang berlebih menjadi memberi. Covid-19 memiliki sudut pandang teologi kemanusiaan yang menggugat egoisme dan arogansi menuju kerendahan hati dan kemuliaan jati diri.





Pendidikan
Profetik Ramadan di Tengah Pandemi Covid-19





Pendidikan ramadan dinilai sangat efektif dan penuh berkah, jika yang bersangkutan punya tekad dan tulus. Ramadan memberikan “aturan main” yang apik, humanis, fleksibel, dan sarat akan pesan profetik, sehingga orang yang mengikuti pendidikan di dalamnya akan mengalami transformasi batin yang merefleksikan ke dalam pikiran, tindakan, dan emosionalnya.





Daya tarik Ramadan begitu memesona bagi umat Islam, disambut dengan meriah, dilakoni dengan khusyu', dan diantar pergi dengan tangisan. Gebyar Ramadan selalu ramai dalam kemasan dakwah dan nada, tadarrus dan beduk, ta’jil dan tarawih, sahur dan subuh, tilawah dan I’tiqaf, mudik dan takbiran, ziarah dan halal bi halal. Bulir cinta ramadan memantik jiwa orang mukmin untuk merayakannya dengan penuh khidmat dan takzim.





Ramadan yang sarat dengan ritual dan pahala yang melimpah, menggerakkan hati umat Islam lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Puasa di siang hari dan qiyamul lail pada malamnya bagian rutinitas yang sangat mengesankan selama satu bulan penuh. Rasa lelah dan letih mengindahkan oleh ekspektasi muslim untuk meraih maghfirah dan inayah-Nya selama ramadhan.





Ramadan ibarat ‘pasar murah’ yang melimpah disiapkan Allah Swt., bagi muslim yang ingin ‘berbelanja’ amal salih. Modal utama yang disiapkan dalam belanja di pasar murah adalah Iman (tauhid) yang kokoh dan teguh. Iman sebagai mainstream segala ritual agama yang dapat memberikan keberkahan yang melimpah dalam konteks sosial (Lihat Mannan, 2018). Iman yang mengakar dalam jiwa, tidak akan tergoyahkan oleh hasutan dan provokasi apapun yang dapat meredupkan cahaya puasa di Bulan Ramadan.





Ramadan tahun ini dilanda sebuah tragedi kemanusiaan, yakni adanya pandemi Covid-19 yang sangat mencekam dan bagai ‘mesin pembunuh’ di era digital. Pandemi Covid-19 ‘memaksa’ orang berpuasa tidak boleh berkumpul membeli ta’jil, apalagi ngabuburit di tempat umum, tidak diperbolehkan salat berjamaah, salat jumat, dan salat tarawih di masjid (Lihat Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020). Masjid tadinya ramai menjelang buka puasa, lalu masuk salat maghrib, tadarrusan, salat Isya, ceramah, kemudian Tarawih, lalu kembali tadarrus bersama, hingga tengah malam. Semua itu kini sudah tinggal kenangan, luar biasa sepi, tiada tanda-tanda lagi ramadan tiba dan dilakoni, semua tampak jadi “sirna”.





Pandemi Covid-19 mendorong umat Islam meninjau kembali bulan ramadan dalam konteks yang berbeda. Ramadan konteks kekinian dan kedisinian menjadi perdebatan ‘sengit’ di kalangan muslim, tampak ada pergeseran mendasar mengenai ramadan, pandangan baru, tatanan baru, tradisi baru, aktivitas baru, dan seterusnya. Namun demikian, pandemi Covid-19 justru melegitimasi spiritualitas ramadan sebagai benteng kehidupan dari pandemi yang mematikan. Berikut relasi Ramadhan dan teologi Covid-19 secara kontekstual, di antaranya adalah:





  1. Ramadan mendorong orang yang berpuasa agar rajin tadarrus dan tadabbur Alquran sebagai media memperkaya khazanah kearifan (QS. Shad: 29). Alquran dapat memperkuat iman, melapangan jiwa, dan menyehatkan hati. Bukankah Covid-19 menghantarkan kita kepada pencarian rahasia kehidupan yang lebih bermakna, bernilai, dan esensial. Covid-19 ini meruntuhkan sikap arogansi dengan kemampuan yang ada, ternyata ‘tersungkur’ dan terkoyak oleh arus pandemi Covid-19. Momentum Ramadan dan pandemi Covid-19, mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai makhluk yang nisbi, penuh keterbatasan, dan mengendalikan dari sikap kecenderungan melakukan sesuatu yang melampaui batas (offside).
  2. Ramadan mengajarkan dengan berpuasa maka kepedulian terhadap sesama semakin meningkat, orang berpuasa merasakan derita jika lapar, seperti yang dialami oleh orang belum beruntung. Berpuasa membangun solidaritas sosial, mereduksi sikap egoism, mencegah dominasi individualism, dan menghindarkan diri dari sifat الشُّحَّ (kikir) (H.R.Muslim (4/1996, no. 56/2578)). Pademi Covid-19 mendorong kepedulian dan saling menjaga keselamatan satu sama lain. Pemerintah melarang mudik untuk menyayangi keluarga dan handai tolan, melakukan social distancing sebagai bentuk peduli kepada orang lain untuk memutus rantai pandemi, sikap stay at home sebagai tindakan mengapresiasi kerja keras pahlawan kemanusiaan, yakni dokter dan petugas kesehatan.
  3. Ramadan mengajak mukmin lebih banyak berinfak, bersedekah, berbagi kepada yang belum beruntung (fakir miskin), dan mengeluarkan zakat fitrah. Memberi makan bagi orang yang berpuasa, pahalanya baginya seperti orang yang berpuasa tersebut (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192). Covid-19 ‘memaksa’ manusia untuk stay at home dan physical distancing, terpaksa kehilangan pekerjaan dan hanya menunggu belas kasih dari dermawan dan pemerintah. Jika tidak ada makanan, terpaksa mereka keluar rumah untuk mencari ‘sesuap’ nasi agar bisa bertahan hidup. Keluarnya dari rumah justru menjadi mata rantai pandemi Covid-19 kepada masyarakat. Momentum Ramadan dan pandemi Covid-19 membangun solidaritas sosial untuk saling berbagi demi eksistensi kehidupan bersama.
  4. Ramadan mendorong orang yang berpuasa agar lebih banyak salat sunnat, terutama di malam hari (tarawih dan witir) agar terbuka pintu hidayah dan maghfirah dari Allah Swt., atas kekhilafan di masa lalu. Hadis Nabi: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (Shahih Muslim (I/523 No. 759 (174) dan Shahih al-Bukhari (Fath hul Bari), IV/250 No. 2009). Muh. Kawasneh, peneliti Binghamton University, bahwa “Doa dan ibadah dapat menghilangkan stres fisik dan kecemasan” (Republika.co.id., Selasa, 07 Maret 2017).  Covid-19 mendorong masyarakat agar lebih menjaga imunitas tubuh, hindari perasaan panik dan cemas, selalu bersikap enjoy dan relaksasi, tetapi tetap waspada atas pandemi Covid-19. Melalui ramadan dengan ibadah salat yang masif, diduga kuat dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
  5. Ramadan mengingatkan bahwa puasa menjadikan orang lebih sehat secara medis dan metabolisme tubuh menjadi lancar. Berpuasa membuat saluran pencernaan istirahat 14 jam dan menjadi lebih bersih, mendorong penguatan fungsi enzim dan hormon yang terkait, guna mendukung upaya menjaga metabolisme tubuh tetap pada kondisi terbaiknya (Hartono, 2020). Covid-19 mendorong masyarakat agar menjaga imun tubuh yang kuat, dengan nutrisi makanan bergizi, istirahat yang cukup, pola hidup sehat, hindari stress, stop alkohol, dan seterusnya. Daya tahan tubuh yang prima, dapat bertahan lebih kuat di tengah Pandemi Covid-19 dibandingkan dengan yang lemah daya tahan tubuhnya.
  6. Ramadan memberi nasihat kepada orang yang berpuasa, bahwa janganlah memaksakan diri untuk bekerja, beraktivitas, meraih mimpi, mengejar ambisi keduniaan akan menjauhkannya dari surga (QS. An-Naziat/79: 37-41), karena manusia punya batasan, dan Allah hanya memberikan apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Manusia berusaha dan Allah yang menentukan, manusia bisa berikhtiar dan Allah menetapkannya dalam kehendak-Nya (QS. At-Takwir: 29). Covid-19 memberi inspirasi kepada masyarakat bahwa hidup ada kalanya roda berputar kencang, pelan-pelan, berhenti, bahkan mundur. Pandemi ini memaksa masyarakat untuk pelan-pelan memutar roda kehidupan, bahkan ada yang berhenti dan mundur ke belakang. Ramadhan mengingatkan bahwa menghadapi pandemi Covid-19 tidak perlu cemas dalam menghadapi hidup dan kehidupan, karena semua sudah tercatat dalam “Buku Besar” Allah Swt.
  7. Ramadan mengingatkan bahwa puasa adalah ibadah sirriyah, yakni ibadah rahasia yang hanya tahu adalah orang berpuasa dan Allah Swt., sehingga diperlukan kejujuran. Jujur dimaknai niat karena Allah, sikap disiplin terhadap regulasi puasa, berjuang dengan durasi waktu yang ditentukan, dan mengorbankan segalanya yang bisa membatalkan ibadah puasa (Sholehuddin, 2020). Covid-19 mendorong masyarakat untuk bersikap jujur untuk menjaga ketenangan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Melaporkan diri kepada petugas kesehatan jika mengalami gejala Covid-19, disiplin menjalani PSBB, sabar dalam stay at home, dan berjuang menaati physical distancing. Jika membagi bantuan kemanusiaan, dibutuhkan kejujuran sehingga tersalurkan kepada orang yang tepat dan sesuai dengan nominal yang sebenarnya.
  8. Ramadan melatih mukmin tentang ketulusan, kesabaran, ketabahan, tawakkal, dan berharap ridha dari Allah Swt. Nabi bersabda:  كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به(HR. Bukhari: 7/226). Kesadaran dan kepatuhan kepada Allah melalui Puasa, maka Allah yang langsung memberikan apresiasi dan ganjaran pahala kepada hamba-Nya. Covid-19 mengajarkan pada masyarakat agar tulus menghadapi realitas, bersabar dan tabah terhadap pandemi, patuh terhadap maklumat pemerintah, medis, dan ulama. Kepatuhan terhadap maklumat, maka pemerintah memberikan bantuan langsung kemanusiaan, berupa kebutuhan pokok dan kenyamanan dalam kehidupan sosial.




Universitas ramadan memiliki relasi positif terhadap peredaman pandemi Covid-19. Semakin tulus dan totalitas mengikuti pendidikan ramadan, semakin tidak terasa ramadan akan berakhir. Begitu juga Covid-19, semakin tulus dan patuh mengikuti maklumat pemerintah dan fatwa MUI terkait pandemi Covid-19, maka semakin cepat merdeka dan terbebas dari rantai penyebaran pandemi Covid-19 tersebut.





Ramadan bagian dari ujian umat Islam.. [next page 3]









[page 3]





Ramadan bagian dari ujian umat Islam dalam merestorasi sistem iman yang kokoh dan teguh, sehingga memancarkan cahaya keberkahan dalam kesalehan individual dan sosial. Begitu juga Covid-19, merupakan peringatan kepada umat manusia untuk menjaga imun setiap orang dengan membangun ekosistem yang sehat dan ekoilibrum sehingga berimplikasi kepada kesalehan ekologi dan harmoni alam. Ramadan memanggil mukmin berpuasa agar selalu meng-upgrade iman, dan covid-19 ‘memaksa’ manusia menjaga imun dan ekologi. Berkah ramadan dan hikmah Covid-19, menjadi pembelajaran kepada kita semua, bahwa dalam diri sangat penting dijaga, yakni iman dan imun (kesehatan rohani dan jasmani). Inilah pendidikan profetik yang penting diperhatikan oleh setiap insan muslim agar dapat mengemban misi Ilahi dalam “manifesto” rahmatan lil ‘alamin.





Wallahu
‘a’lam bishshawab.





Daftar Pustaka





Alquran al-Karim





Aplikasi Maktabah Syamilah





Arafat,Muhammad Husni , Puasa Sebagai Sarana Revolusi Mental,
dalam https://unisnu.ac.id/puasa-sebagai-sarana-revolusi-mental, 03 Juli 2017.
Umiarso & Makhful, “Puasa
dan Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Manusia Penaka “Tuhan”: Tinjauan
Kritis Terhadap Sisi Epistemologik dan Aksiologik (Pembelajaran) Pendidikan
Agama Islam”, Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 12, Nomor 1 Tahun
2018





Fadlil, Abdul, Puasa
Mengembalikan Fitrah Manusia
, dalam https://uad.ac.id/id/puasa-mengembalikan-fitrah-manusia. 16 Agustus 2013.





Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020, tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19, tertanggal 12 Rajab 1441 H bertepatan 16 Maret 2020.





Hartono, Soesanti Harini, “Puasa Ramadan, Kesempatan Bersihkan Saluran Pencernaan Dari Virus dan Bakteri”, Grid Health.id, Senin, 6 April 2020.





Ibrahim, Kusman, Universitas Kehidupan itu Bernama Ramadhan, dalam http://www.unpad.ac.id/en/rubrik/universitas-kehidupan-itu-bernama-ramadhan, 16 Juli 2014.





Mannan, Audah, “Transformasi Nilai-nilai Tauhid Dalam Perkembangan Sains dan Teknologi” Jurnal Aqidah-Ta. Vol. IV No. 2 Thn. 2018.





Republika.co.id., “Sains Buktikan Manfaat Shalat Bagi Kesehatan”. Selasa, 07 Maret 2017.





Rohmatika, Ratu Vina, “Pendekatan Interdisipliner dan Multidisipliner dalam Studi Islam”, Al-Adyan, Volume 14, Nomor 1, Januari-Juni, 2019.





Sholehuddin, L. “Korelasi Puasa dan Kejujuran”, MinaNews.net. Jumat, 15 Ramadhan 1441 H / 8 Mei 2020 M.





Suyanta, Sri, “Kisah Ibrahim Mencari Tuhan dan Nilai-nilai Pendidikan”. Islam Futura, Vol. VI, No. 2, Tahun 2007.










Posting Komentar

Copyright © Tanya IAIN Parepare | Distributed by Blogger Templates | Designed by OddThemes